News Update :

Daftar Isi 42 Hadits Arba'in

Hadits Arba’in Nawawiyah adalah kumpulan 40 hadits Nabi saw yang dikumpulkan oleh Imam Nawawi ra. dan merupakan kitab yang tidak asing bagi kita umat Islam, bukan hanya di Indonesia namun di seluruh dunia. Umat Islam mengenalnya dan akrab dengannya, karena banyak dibahas oleh para ulama dan menjadi rujukan dalam menyebarkan ajaran Islam kepada kaum muslimin berkaitan dengan kehidupan beragama, ibadah, muamalah dan syariah.


Berikut Hadits-hadits Arba'in Imam Nawawi:
0.Pengantar Hadits Arba'in
1.Niat dan Ikhlas 
2.Iman,Islam dan Ihsan
3.Rukun Islam
4.Takdir Manusia telah ditetapkan
5.Semua Perbuatan Bid'ah Tertolak
6.Dalil yang Halal dan Haram
7.Agama adalah Nasihat
8.Perintah memerangi manusia yang tidak Sholat dan Bayar Zakat
9.Melaksanakan perintah sesuai kemampuan
10.Makan dari Rezki yang Halal
11.Tinggalkan Keragu-raguan
12.Meninggalkan yang tidak bermanfaat
13.Mencintai milik orang lain seperti mencintai miliknya sendiri
14.Larangan Berzina,Membunuh dan Murtad
15.Berkata Baik atau lebih baik diam
16.Jangan mudah marah
17.Berbuat baik dalam segala urusan
18.Setelah melakukan dosa segera lakukan kebaikan
19.Wasiat RAsulullah kepada Ibnu Abbas
20.Anjuran memiliki Rasa Malu
21.Istiqomah
22.Melaksanakan syari'at Islam dengan benar
23.Suci itu sebagian dari Iman
24.Haramnya Berbuat Zalim
25.Bersedekah tidak mesti dengan Harta
26.Segala perbuatan baik adalah sedekah
27.Menjauhi perbuatan yang meresahkan
28.Berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin
29.Shalat Lail(malam) menghapus dosa
30.Laksanakan perintah Agama dan menjauhi larangan Agama
31.Anjuran Zuhud
32.Tidak boleh berbuat kerusakan atau bahaya
33.Penuduh wajib bawa bukti dan tertuduh cukup bersumpah
34.Kewajiban mengingkari/memberantas kemungkaran
35.Haramnya sifat dengki dan mencari kesalahan orang lain
36.Sesama muslim wajib saling membantu
37.Pahala kebaikan dilipatgandakan Allah
38.Keutamaan melaksanakan Sunnah
39.Tidak sengaja atau lupa dimaafkan
40.Hidup bagaikan seorang pengembara
41.Menundukkan Hawa Nafsu
42.Dosa selain SYIRIK akan diampuni
komentar | | Read More...

Hadits Arba'in ke-42:DOSA SELAIN SYIRIK AKAN DIAMPUNI

DOSA SELAIN SYIRIK AKAN DIAMPUNI

عن أنس رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول - قال الله تعالى : يا بن ادم إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان ولا أبالي , يا بن ادم لو بلغت ذنوبك عنان السماء ثم استغفرتني غفرت لك , يا بن ادم إنك لو أتيتني بقراب الأرض خطايا ثم لقيتني لا تشرك بي شيئاً لأتيتك بقرابها مغفرة - رواه الترمذي وقال حديث حسن صحيح

Terjemahan:

Dari Anas radhiallahu 'anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih)

[Tirmidzi no. 3540]

Penjelasan:

Hadits ini berisikan kabar gembira, belas kasih dan kemurahan yang besar. Tidak terhitung banyaknya karunia, kebaikan, belas kasih dan pemberian Allah kepada hamba-Nya. Yang semakna dengan Hadits ini adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Allah lebih bergembira atas tobat seorang hamba-Nya daripada (kegembiraan) seseorang di antara kamu yang menemukan kembali hewannya yang hilang”.

Dari Abu Ayyub ketika ia hendak wafat ia berkata : Saya telah merahasiakan dari kalian sesuatu yang pernah aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, yaitu saya mendengar beliau bersabda : “Sekiranya kamu sekalian tidak mau berbuat dosa, niscaya Allah akan menggantinya dengan makhluk lain yang mau berbuat dosa, lalu Allah memberi ampun kepada mereka”.

Juga banyak Hadits lain yang semakna dengan Hadits ini.
Sabda beliau “wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku” semakna dengan sabda beliau : “Aku senantiasa mengikuti anggapan hamba-Ku kepada-Ku. Oleh karena itu, hendaknya ia mempunyai anggapan kepada-Ku sesuai kesukaannya”.

Telah disebutkan bahwa bila seorang hamba (manusia) telah berbuat dosa kemudian menyesal, misalnya dengan mengatakan : “Wahai Tuhanku, aku telah berbuat dosa, karena itu ampunilah aku. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosaku kecuali Engkau”. Maka Allah akan menjawab : “Hamba-Ku mengakui bahwa dia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosanya dan menghukum kesalahannya, karena itu Aku persaksikan kepada kamu sekalian bahwa Aku telah memberikan ampunan kepadanya”. Kemudian hamba itu berbuat seperti itu kedua atau ketiga kalinya, lalu Allah menjawab seperti itu setiap kali terulang kejadian itu. Kemudian Allah berfirman: “Berbuatlah sesukamu, karena Aku telah mengampuni kamu” maksudnya ketika kamu berbuat dosa kemudian kamu mohon ampun.

Ketahuilah, syarat bertobat itu ada tiga, yaitu meninggalkan perbuatan maksiatnya, menyesali yang sudah terjadi dan bertekad tidak akan mengulangi. Jika kesalahan itu berkaitan dengan sesama manusia, maka hendaklah ia segera menunaikan apa yang menjadi hak orang lain atau minta dihalalkan. Jika berkaitan dengan Allah, sedangkan di dalam urusan tersebut ada sanksi kafarat, maka hendaklah ia segera menunaikan pembayaran kafarat. Ini adalah syarat keempat. Sekiranya seseorang mengulangi dosanya berkali-kali dalam satu hari dan ia melakukan tibat sesuai dengan syarat tersebut, maka Allah akan mengampuni dosanya.

Sabda beliau (Allah berfirman) : “maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi” maksudnya engkau mengulangi perbuatan dosa kamu dan Aku tidak mempermasalahkan dosa-dosamu itu.

Sabda beliau (Allah berfirman) : “Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu” maksudnya adalah sekiranya dosa beberapa orang dikumpulkan, kemudian memenuhi ruang antara langit dan bumi. Hal ini menunjukkan seberapa pun besarnya dosa, tetapi kemurahan, belas kasih Allah pengampunan-Nya jauh lebih luas dan lebih besar, sehingga tidak berimbang antara dosa dan pengampunan dan siat keagungan Allah ini tidak terhingga, sehingga dosa yang memenuhi alam ini tidak mengalahkan sifat pemurah dan pengampunan-Nya.

Sabda beliau (Allah berfirman) : “Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula” maksudnya adalah engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa-dosa sebesar bumi.

Kalimat “kemudian engkau menemui Aku” maksudnya engkau mati dalam keadaan beriman, tanpa sedikit pun menyekutukan Aku dengan apa pun tiada rasa senang bagi orang mukmin yang melebihi rasa senangnya saat ia bertemu Tuhannya. Allah berfirman : “Sungguh, Allah tidak mengampuni orang yang menyekutukan-Nya, tetapi mengampuni dosa selain dari itu kepada siapa yang dikehendaki”. (QS 4 : 48)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Tidaklah dikatakan terus-menerus berbuat dosa orang yang mau meminta ampun, sekalipun dia mengulangi tujuh puluh kali dalam sehari”.
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Mempunyai anggapan baik kepada Allah termasuk beribadah yang baik kepada Allah”.
komentar | | Read More...

Hadits Arba'in ke-41:MENUNDUKKAN HAWA NAFSU

MENUNDUKKAN HAWA NAFSU

عن أبي محمد عبدالله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما ما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم - لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعاُ لما جئت به - حديث صحيح رويناه في كتاب الحجة بإسناد صحيح

Terjemahan:

Dari Abu Muhammad, Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash radhiallahu 'anhuma, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga hawa nafsunya tunduk kepada apa yang telah aku sampaikan”. (Hadits hasan shahih dalam kitab Al Hujjah)

Penjelasan:

Hadits ini semakna dengan firman Allah : “Demi Tuhanmu, mereka tidak dikatakan beriman sebelum mereka berhukum kepada kamu mengenai perselisihan sesama mereka dan mereka tidak merasa berat hati atas keputusan kamu serta menerima dengan pasrah sepenuhnya”. (QS. 4 : 65)

Sebab turunnya ayat ini ialah karena Zubair bersengketa dengan seorang sahabat dari golongan Anshar dalam perkara air. Kedua orang ini datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk mendapatkan keputusan. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Wahai Zubair, alirkanlah dan tuangkanlah air kepada tetanggamu itu”.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menganjurkan kepada Zubair untuk bersikap memudahkan dan toleransi. Akan tetapi, sahabat Anshar itu berkata : “Apakah karena dia anak bibimu?” Maka merahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam kemudian sabda beliau : “Wahai Zubair, tutuplah alirannya sampai airnya naik ke atas pagar kemudian biarkanlah hingga tumpah”.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam melakukan hal semacam itu untuk memberi isyarat kepada Zubair bahwa apa yang diputuskan beliau mengandung mashlahat bagi golongan Anshar. Tatkala orang Ashar memahami sabda Nab Shallallahu 'alaihi wa Sallam itu, maka Zubair menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Karena kejadian itulah ayat ini turun.

Hadits yang shahih dari Nabi , beliau bersabda : “Demi diriku yang ada di dalam kekuasaan-Nya, seseorang di antara kamu tidak dikatakan beriman sebelum ia mencintai aku lebih dari cintanya kepada bapaknya, anaknya, dan semua manusia”.
Abu Zinad berkata : “Hadits ini termasuk kalimat pendek yang padat berisi, karena di dalam kalimat ini digunakan kalimat yang singkat tetapi maknanya luas. Cinta itu ada tiga macam, yaitu cinta yang didorong oleh rasa menghormati dan memuliakan seperti cinta kepada orang tua, cinta didorong oleh kasih sayang seperti mencintai anak dan cinta karena saling mengharapkan kebaikan seperti mencintai orang lain”.

Ibnu Bathal berkata : “Hadits di atas maksudnya ---Wallaahu a’lam--- adalah barang siapa yang ingin imannya menjadi sempurna, maka ia harus mengetahui bahwa hak dan keutamaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam lebih besar daripada hak bapaknya, anaknya dan semua manusia, karena melalui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam inilah Allah menyelamatkan dirinya dari neraka dan memberinya petunjuk sehingga terjauh dari kesesatan. Jadi, maksud Hadits di atas adalah mengorbankan diri dan jiwa untuk membela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam berperang melawan bapak mereka atau anak mereka atau saudara mereka (yang melawan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam). Abu Ubaidah telah membunuh bapaknya karena menyakiti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Abu Bakar menghadapi anaknya, Abdurrahman, dalam perang Badar dan hampir saja anak itu dibunuhnya. Barang siapa melakukan hal semacam ini, sungguh ia dapat dikatakan kemauan-kemauannya tunduk kepada apa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam kepadanya.
komentar | | Read More...

Hadits Arba'in ke-40:HIDUP BAGAIKAN SEORANG PENGEMBARA

HIDUP BAGAIKAN SEORANG PENGEMBARA

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بمنكبي رضي الله عنه فقال - كن في الدنيا كأنك غريب , أو عابر سبيل - وكان ابن عمر رضي الله عنه يقول " إذا أمسيت فلا تنتظر الصباح وإذا أصبحت فلا تنتظر المساء وخذ من صحتك لمرضك ومن حياتك لمماتك " رواه البخاري

Terjemahan:

Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam memegang pundakku, lalu bersabda : Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara. Lalu Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata : “Jika engkau di waktu sore, maka janganlah engkau menunggu pagi dan jika engkau di waktu pagi, maka janganlah menunggu sore dan pergunakanlah waktu sehatmu sebelum kamu sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu mati”.

[Bukhari no. 6416]

Penjelasan:

Imam Abul Hasan Ali bin Khalaf dalam syarah Bukhari berkata bahwa Abu Zinad berkata : “Hadits ini bermakna menganjurkan agar sedikit bergaul dan sedikit berkumpul dengan banyak orang serta bersikap zuhud kepada dunia”. Abul Hasan berkata : “Maksud dari Hadits ini ialah orang asing biasanya sedikit berkumpul dengan orang lain sehingga dia terasing dari mereka, karena hampir-hampir dia hanya berkumpul dan bergaul dengan orang ini saja. Ia menjadi orang yang merasa lemah dan takut. Begitu pula seorang pengembara, ia hanya mau melakukan perjalanan sebatas kekuatannya. Dia hanya membawa beban yang ringan agar dia tidak terbebani untuk menempuh perjalanannya. Dia hanya membawa bekal dan kendaraan sebatas untuk mencapai tujuannya. Hal ini menunjukkan bahwa sikap zuhud terhadap dunia dimaksudkan untuk dapat sampai kepada tujuan dan mencegah kegagalan, seperti halnya seorang pengembara yang hanya membawa bekal sekadarnya agar sampai ke tempat yang dituju. Begitu pula halnya dengan seorang mukmin dalam kehidupan di dunia ini hanyalah membutuhkan sekadar untuk mencapai tujuan hidupnya.

Al ‘Iz ‘Ala’uddin bin Yahya bin Hubairah berkata : “Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menganjurkan untuk meniru perilaku orang asing, karena orang asing yang baru tiba di suatu negeri tidaklah mau berlomba di tempat yang disinggahinya dengan penghuninya dan tidak ingin mengejutkan orang lain dengan melakukan hal-hal yang menyalahi kebiasaan mereka misalnya dalam berpakaian, dan tidak pula menginginkan perselisihan dengan mereka. Begitu pula para pengembara tidak mau membuat rumah atau tidak pula mau membuat permusuhan dengan orang lain, karena ia menyadari bahwa dia tinggal bersama mereka hanya beberapa hari. Keadaan orang merantau dan pengembara semacam ini dianjurkan untuk menjadi sikap seorang mukmin ketika hidup di dunia, karena dunia bukan merupakan tanah air bagi dirinya, juga karena dunia membatasi dirinya dari negerinya yang sebenarnya dan menjadi tabir antara dirinya dengan tempat tinggalnya yang abadi.

Adapun perkataan Ibnu Umar “Jika engkau di waktu sore, maka janganlah engkau menunggu pagi dan jika engkau di waktu pagi, maka janganlah menunggu sore” merupakan anjuran agar setiap mukmin senantiasa siap menghadapi kematian, dan kematian itu dihadapi dengan bekal amal shalih. Ia juga menganjurkan untuk mempersedikit angan-angan. Janganlah menunda amal yang dapat dilakukan pada malam hari sampai datang pagi hari, tetapi hendaklah segera dilaksanakan. Begitu pula jika berada di pagi hari, janganlah berbiat menunda sampai datang sore hari dan menunda amal di pagi hari samapi datang malam hari.

Kalimat “pergunakanlah waktu sehatmu sebelum kamu sakit” menganjurkan agar mempergunakan saat sehatnya dan berusaha dengan penuh kesungguhan selama masa itu karena khawatir bertemu dengan masa sakit yang dapat merintangi upaya beramal. Begitu pula “waktu hidupmu sebelum kamu mati” mengingatkan agar mempergunakan masa hidupnya, karena angan-angannya lenyap, serta akan muncul penyesalan yang berat karena kelengahannya sampai dia meninggalkan kebaikan. Hendaklah ia menyadari bahwa dia akan menghadapi masa yang panjang di alam kubur tanpa dapat beramal apa-apa dan tidak mungkin dapat mengingat Allah. Oleh karena itu, hendaklah ia memanfaatkan seluruh masa hidupnya itu untuk berbuat kebajikan. Alangkah padatnya Hadits ini, karena mengandung makna-makna yang baik dan sangat berharga.

Sebagian ulama berkata : “Allah mencela angan-angan dan orang yang panjang angan-angan”.
Firman-Nya : “Biarkanlah mereka (orang-orang kafir) makan dan bersenang-senang serta dilengahkan oleh angan-angan, maka kelak mereka akan mengetahui akibatnya”. (QS. 15 : 3)
Ali bin Abu Thalib berkata : “Dunia berjalan meninggalkan (manusia) sedangkan akhirat berjalan menjemput (manusia) dan masing-masingnya punya penggemar, karena itu jadilah kamu penggemar akhirat dan jangan menjadi penggemar dunia. Sesungguhnya masa ini (hidup di dunia) adalah masa beramal bukan masa peradilan, sedangkan besok (hari akhirat) adalah masa peradilan bukan masa beramal”.
Anas berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah membuat beberapa garis, lalu beliau bersabda : “Ini adalah mannusia dan ini adalah angan-angannya dan ini adalah ajalnya ketika ia berada dalam angan-angan tiba-tiba datang kepadanya garisnya yang paling dekat (yaitu ajalnya)”.
Hadits ini memperingatkan agar orang mempersedikit angan-angan karena takut kedatangan ajalnya yang tiba-tiba dan selalu ingat bahwa ajalnya telah dekat. Barang siapa yang mengabaikan ajalnya, maka patutlah dia didatangi ajalnya dengan tiba-tiba dan diserang ketika ia dalam keadaan terperdaya dan lengah, karena manusia itu sering terperdaya oleh angan-angannya.

Abdullah bin Umar berkata : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam melihat aku ketika aku dan ibuku sedang memperbaiki salah satu pagar milikku. Beliau bertanya:
‘sedang melakukan apa ini wahai Abdullah?’
Saya jawab : ‘Wahai Rasulullah, telah rapuh pagar ini, karena itu kami memperbaikinya’. Lalu beliau bersabda : ‘Kehidupan ini lebih cepat dari rapuhnya pagar ini’.

Kita memohon kepada Allah semoga kita dirahmati dan dijadikan orang yang zuhud terhadap kehidupan dunia dan menjadikan kita bersemangat mengejar apa yang ada di sisi-Nya dan menjadikan kita memperoleh kesenangan di hari kiamat. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Dermawan, Maha Pemurah, Maha Pengampun dan Maha Belaskasih. Wallahu a’lam
komentar | | Read More...

Hadits Arba'in ke-39:TIDAK SENGAJA ATAU LUPA DIMAAFKAN

TIDAK SENGAJA ATAU LUPA DIMAAFKAN

عن ابن عباس – رضي الله عنهما – أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال - إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ و النسيان ، و ما استكرهوا عليه - حديث حسن رواه ابن ماجه و البيهقي و غيرهما

Terjemahan:

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, sesungguhnya Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda : " Sesungguhnya Allah telah mema’afkan kesalahan-kesalahan uamt-Ku yang tidak disengaja, karena lupa dan yang dipaksa melakukannya" (HR. Ibnu Majah, Baihaqi dll, hadits hasan)

[Ibnu Majah no. 2405, Baihaqi (As-Sunan no. 7/356), dan yang lain]

Penjelasan:

Hadits ini disebutkan dalam tafsir ayat : “Jika kamu melahirkan apa yang ada dihati kamu atau kamu sembunyikan, maka Allah akan mengadili kamu dengan apa yang kamu lakukan itu” (QS. 2 : 284)

Ayat ini menyebabkan para sahabat merasa tertekan. Oleh karena itu, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Mu’adz bin Jabal beberapa orang mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan mereka berkata : “Kami dibebani amal yang tak sanggup kami memikulnya. Sesungguhnya seseorang di antara kami dalam hatinya ada bisikan yang tidak disenanginya, sekalipun bisikan itu menjanjikan dunia. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam lalu menjawab : “Boleh jadi kamu mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan Bani Israil, yaitu kami mau mendengar tetapi kami akan menentangnya. Karena itu katakanlah : ‘Kami mau mendengar dan mau menaati”. Hal itu membuat mereka merasa tertekan dan mereka diam untuk sementara. Lalu Allah memberikan kelonggaran dan rahmat-Nya dengan berfirman : “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya. Ia akan mendapatkan pahala atas usahanya dan mendapatkan siksa atas kesalahannya, (lalu ia berdo’a) : ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah”. (QS. 2 : 286)
Allah memberikan keringanan dan mansukh (terhapus)lah ayat yang pertama di atas. Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafi’i berkata : “Allah berfirman : Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya merasa tentram dengan imannya (maka orang semacam ini tidak berdosa)”.

Ada beberapa hukum bagi sikap kekafiran ketika Allah menyatakan bahwa kekufuran tidak terdapat pada orang yang dipaksa, maksudnya bahwa menyatakan kekufuran secara lisan karena dipaksa tidak dianggap kufur. Jika sesuatu yang lebih berat dianggap gugur, maka yang lebih ringan lebih patut untuk gugur. Kemudian disebutkan adanya riwayat dari Ibnu ‘Abbas dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Sesungguhnya Allah membebaskan umatku (dari dosa) karena keliru atau lupa atau dipaksa”.
Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda : “Tidak ada thalaq dan pembebasan budak karena pemaksaan”.
Demikianlah pendapat ‘Umar, Ibnu ‘Umar dan Ibnu Zubai.

Tsabit bin Al Ahnaf menikahi perempuan budak yang melahirkan anak milik ‘Abdurrahman bin Zaid bin Khathab. Lalu ‘Abdurrahman memaksa Tsabit dengan teror dan cemeti untuk menceraikan istrinya pada masa khalifah Ibnu Zubair. Ibnu ‘Umar berkata kepadanya : “Perempuan itu belum terthalaq dari kamu, karena itu kembalilah kepada istrimu”. Saat itu Ibnu Zubair di Makkah, maka ia disusul, lalu ia menulis surat kepada gubernurnya di Madinah. Isi surat tersebut, supaya Tsabit dikembalikan kepada istrinya dan ‘Abdurrahman bin Zaid dikenai hukuman. Kemudian Shafiyah binti Abu ‘Ubaid, istri ‘Abdullah bin ‘Umar, mempersiapkan upacara walimahnya dan ‘Abdullah bin ‘Umar menghadiri walimah ini. Wallaahu a’lam.
komentar | | Read More...

Hadits Arba'in ke-38:KEUTAMAAN MELAKSANAKAN SUNNAH

KEUTAMAAN MELAKSANAKAN SUNNAH

عن أبي هريرة – رضي الله عنه – قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم - إن الله تعالى قال : من عادي لي وليا فقد آذنته بالحرب ، وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه ، و لا يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه ، فإذا أحببته كنت سمعه الذي سمع به و بصره الذي يبصر به ، و يده التي يبطش بها و رجله التي يمشي بها و لئن سألني لأعطينه ، و لئن استعاذني لأعيذنه - رواه البخاري

Terjemahan:

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anh, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam “Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman : ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya. Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (perbuatan) yang Aku sukai seperti bila ia melakukan yang fardhu yang Aku perintahkan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memegang, sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti akan Aku berikan kepadanya."

[Bukhari no. 6502]

Penjelasan:

Pengarang Kitab Al-Ifshah berkata : “Hadits ini mengandung pengertian bahwa Allah menyampaikan ancaman kepada setiap orang yang memusuhi wali-Nya. Allah mengumumkan bahwa Dia-lah yang memerangi orang yang menjadi wali-Nya. Wali Allah yaitu orang yang mengikuti syari’at-Nya, oleh karena itu hendaklah manusia takut untuk berbuat menyakiti hati wali-wali Allah. Memusuhi disini berarti menjadikan wali Allah sebagai musuh, yaitu memusuhi seseorang karena dia menjadi wali Alloh. Adapun jika terjadi perselisihan antara wali Alloh karena memperebutkan hak, maka hal semacam ini tidak termasuk dalam makna memusuhi yang dimaksud dalam hadits ini, sebab pernah terjadi perselisihan antara Abu Bakar dan Umar, Abbas dan Ali dan banyak lagi sahabat yang lain, padahal mereka semua adalah wali-wali Alloh”

Kalimat, “Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (perbuatan) yang Aku sukai seperti bila ia melakukan yang fardhu yang Aku perintahkan kepadanya” menyatakan bahwa yang sunnah tidak boleh didahulukan dari yang wajib. Suatu perbuatan sunnah mestinya dilakukan apabila yang wajib sudah dilakukan, dan tidak disebut menjalankan yang sunnah sebelum yang wajib dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh kalimat, “Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya” yaitu karena ia bertaqorrub dengan amalan yang sunnah yang mengiringi amalan yang wajib. Bila seorang hamba selalu , mendekatkan diri dengan amalan yang sunnah, maka hal itu akan menjadikannya orang yang dicintai Alloh.

Kemudian kalimat, “Jika Aku telah mencintainya, maka jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memegang, sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan” Hal ini merupakan tanda kecintaan Alloh terhadap orang yang dicintai-Nya, maksudnya orang itu tidak akan mau mendengar hal-hal yang dilarang oleh syari’at, tidak mau melihat hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syari’at, tidak mau mengulurkan tangannya memegang sesuatu yang tidak dibenarkan oleh syari’at dan tidak mau melangkahkan kakinya kecuali hanya kepada hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at. Inilah pokok permasalahannya.
Akan tetapi, seringkali ketika seseorang menyebut nama Alloh hingga disebut sebagai ahli dzikir, sampai ia tidak mau mendengar perkataan orang yang berbicara dengannya, kemudian orang yang bukan ahli dzikir berusaha mendekat kepada orang yang ahli dzikir ini, karena ingin menjadikannya sebagai perantara, agar Alloh mendengarkan permohonan mereka. Begitu pula dengan mubashirot (orang yang merasa dirinya bisa melihat Alloh), mutanawilat (orang yang merasa dirinya mampu menjangkau Alloh) dan mas’aa ilaih (orang yang merasa dirinya telah melangkah menuju Alloh) Semuanya itu adalah sifat yang mulia. Kita memohon kepada Alloh semoga kita termasuk kedalam golongan (yang dicintai Alloh) ini.

Kalimat, “Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti akan Aku berikan kepadanya” menunjukkan bahwa seseorang yang telah menjadi golongan yang dicintai Alloh, maka permohonan kepada Alloh tidak akan terintangi dan Alloh akan memberikan perlindungan kepadanya dari siapa saja yang menakutinya. Alloh Maha Kuasa untuk memberikan sesuatu kepadanya sebelum ia memintanya dan memberi perlindungan sebelum ia memohon. Akan tetapi Alloh senantiasa mendekat kepada hamba-Nya dengan memberi sesuatu kepada orang-orang yang meminta dan melindungi orang-orang yang meminta perlindungan.

Kalimat pada awal hadits, “maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya” maksudnya Aku menyatakan kepada orang yang seperti itu bahwa dia telah memerangi Aku. Wallahu a’lam.
komentar | | Read More...

Hadits ke-34
KEWAJIBAN MENGINGKARI/MEMBERANTAS KEMUNGKARAN

عن أبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – قال : قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول - من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعف الإيمان - رواه مسلم

Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju) , dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”.

[Muslim no. 49]

Penjelasan:

Muslim meriwayatkan Hadits ini dari jalan Thariq bin Syihab, ia berkata : Orang yang pertama kali mendahulukan khutbah pada hari raya sebelum shalat adalah Marwan. Lalu seorang laki-laki datang kepadanya, kemudian berkata : “Shalat sebelum khutbah?”. Lalu (laki-laki tersebut) berkata : “Orang itu (Marwan) telah meninggalkan yang ada di sana (Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam)”. Abu Sa’id berkata : “Adapun dalam hal semacam ini telah ada ketentuannya. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : ‘Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman’ “. Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan semacam itu belum pernah dilakukan oleh siapa pun sebelum Marwan.

Jika ada yang bertanya : “Mengapa Abu Sa’id terlambat mencegah kemungkaran ini, sampai laki-laki tersebut mencegahnya?” Ada yang menjawab : “Mungkin Abu Sa’id belum hadir ketika Marwan berkhutbah sebelum shalat. Lelaki itu tidak menyetujui perbuatan tersebut, lalu Abu Sa’id datang ketika kedua orang tersebut sedang berdebat. Atau mungkin Abu Sa’id sudah hadir tetapi ia merasa takut untuk mencegahnya, karena khawatir timbul fitnah akibat pencegahannya itu, sehingga tidak dilakukan. Atau mungkin Abu Sa’id sudah berniat mencegah, tetapi lelaki itu mendahuluinya, kemudian Abu Sa’id mendukungnya”.
Wallaahu a’lam.

Pada Hadits lain yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam Bab Shalat Hari Raya, disebutkan bahwa Abu Sa’id menarik tangan Marwan ketika ia hendak naik ke atas mimbar. Ketika keduanya berhadapan, Marwan menolak peringatan Abu Sa’id sebagaimana penolakannya terhadap seorang laki-laki seperti yang dikisahkan pada Hadits di atas, atau mungkin kasus ini terjadinya berlainan waktu.

Kalimat “hendaklah ia merubahnya (mencegahnya)” dipahami sebagai perintah wajib oleh segenap kaum muslim. Dalam Al Qur’an dan Sunnah telah ditetapkan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ini termasuk nasihat dan merupakan urusan agama. Adapun firman Allah :
“Jagalah diri kamu sekalian, tidaklah merugikan kamu orang yang sesat, jika kamu telah mendapat petunjuk”. (QS. Al Maidah : 105)

tidaklah bertentangan dengan apa yang telah kami jelaskan, karena paham yang benar menurut para ulama ahli tahqiq adalah bahwa makna ayat tersebut ialah jika kamu sekalian melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu, maka kamu tidak akan menjadi rugi bila orang lain menyalahi kamu.
Hal ini semakna dengan firman Allah :
“Seseorang tidaklah menanggung dosa orang lain”. (QS. 6 : 164)

Dengan demikian, amar ma’ruf dan nahi mungkar yang dibebankan kepada setiap muslim, jika ia telah menjalankannya, sedangkan orang yang diperingatkan tidak melaksanakannya, maka pemberi peringatan telah terlepas dari celaan, sebab ia hanya diperintah menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tidak harus sampai bisa diterima oleh yang diberi peringatan. Wallaahu a’lam.

Kemudian, amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan perbuatan wajib kifayah, sehingga jika telah ada yang menjalankannya, maka yang lain terbebas. Jika semua orang meninggalkannya, maka berdosalah semua orang yang mampu melaksanakannya, terkecuali yang ada udzur. Kemudian ada kalanya menjadi wajib ‘ain bagi seseorang. Misalnya, jika di suatu tempat yang tidak ada orang lain yang mengetahui kemungkaran itu selain dia, atau kemungkaran itu hanya bisa dicegah oleh dia sendiri, misalnya seseorang yang melihat istri, anak, atau pembantunya melakukan kemungkaran atau kurang dalam melaksanakan kewajibannya.

Para ulama berkata : “Tanggung jawab amar ma’ruf dan nahi mungkar itu tidaklah terlepas dari diri seseorang hanya Karena ia beranggapan bahwa peringatannya tidak akan diterima. Dalam keadaan demikian ia tetap saja wajib menjalankannya. Allah berfirman :
“Berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”. (QS. 51 : 55)

Telah disebutkan di atas bahwa setiap orang berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi tidak diwajibkan sampai peringatannya itu diterima.
Allah berfirman :
“Tiadalah kewajiban bagi seorang Rasul melainkan hanya menyampaikan peringatan”. (QS. 5 : 99)

Para ulama berkata : “Orang yang menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah diharuskan dirinya telah sempurna melaksanakan semua yang menjadi perintah agama dan meninggalkan semua yang menjadi larangannya. Ia tetap wajib menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar sekalipun perbuatannya sendiri menyalahi hal itu. Hal ini Karena seseorang wajib melakukan dua perkara, yaitu menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Jika yang satu (amar ma’ruf nahi mungkar kepada diri sendiri) dikerjakan, tidak berarti yang satunya (amar ma’ruf nahi mungkar kepada orang lain) gugur”.

Para ulama berkata : “Tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak hanya menjadi kewajiban para penguasa, tetapi tugas setiap muslim”. Yang diperintahkan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang mengetahui tentang apa yang dinilai sebagai hal yang ma’ruf atau mungkar. Bila berkaitan dengan hal-hal yang jelas, seperti shalat, puasa, zina, minum khamr, dan semacamnya, maka setiap muslim wajib mencegahnya karena ia sudah mengetahui hal ini. Akan tetapi, dalam perbuatan atau perkataan yang rumit dan hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad yang golongan awam tidak banyak mengetahuinya, maka mereka tidaklah punya wewenang untuk melakukan nahi mungkar. Hal ini menjadi wewenang ulama. Dan para ulama hanya dapat mencegah kemungkaran yang sudah jelas ijma’nya. Adapun dalam hal yang masih diperselisihkan, maka dalam hal semacam ini tidak dapat dilakukan nahi mungkar, sebab setiap orang berhak memilih salah satu dari dua macam paham hasil ijtihad. Sedang pendapat setiap mujtahid itu dinilai benar sesuai keyakinannya masing-masing. Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian besar ulama tahqiq. Pendapat lain mengatakan bahwa yang benar itu hanya satu dan yang salah bisa banyak, tetapi mujtahid yang salah itu tidak berdosa. Sekalipun demikian, dinasihatkan supaya kita menjauhi persoalan yang diperselisihkan. Hal ini adalah satu sikap yang baik. Kita dianjurkan untuk melaksanakan nahi mungkar ini dengan santun.

Syaikh Muhyidin berkata : “Ketahuilah bahwa sejak lama amar ma’ruf nahi mungkar ini oleh sebagian besar orang telah diabaikan. Pada masa-masa ini hanyalah tinggal dalam tulisan yang amat sedikit, padahal ini merupakan hal yang amat besar peranannya bagi tegaknya urusan umat dan kekuasaan. Apabila perbuatan-perbuatan buruk merajalela, maka orang-orang shalih maupun orang-orang jahat semuanya akan tertimpa adzab. Jika orang yang shalih tidak mau menahan tangan orang yang zhalim, maka nyaris adzab Allah akan menimpa mereka semua. Allah berfirman :
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul-Nya khawatir tertimpa fitnah atau adzab yang pedih”. (QS. 24 : 63)

Oleh karena itu, sepatutnya para pencari akhirat dan orang yang berusaha mendapatkan keridhaan Allah memperhatikan masalah ini. Hal ini karena kemanfaatannya amat besar, apalagi sebagian besar orang sudah tidak peduli, dan orang yanng melakukan pencegahan kemungkaran tidak lagi ditakuti, karena martabatnya yang rendah. Allah berfirman :
“Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong-Nya”. (QS. 22 :40)

Oleh karena itu, ketahuilah bahwa pahala itu diberikan sesuai dengan usahanya dan tidak boleh meninggalkan nahi mungkar ini hanya karena ikatan persahabatan atau kecintaan, sebab sahabat yang jujur ialah orang yang membantu saudaranya untuk memajukan kepentingan akhiratnya, sekalipun hal itu dapat menimbulkan kerugian dalam urusan dunianya. Adapun orang yang menjadi musuh ialah orang yang berusaha merugikan usaha untuk kepentingan akhiratnya atau menguranginya sekalipun sikapnya seperti dapat membawa keuntungan duniawinya.

Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar seyogyanya dilakukan dengan sikap santun agar dapat lebih mendekatkan kepada tujuan. Imam Syafi’i berkata : “Orang yang menasihati saudaranya dengan cara tertutup, maka orang itu telah benar-benar menasihatinya dan berbuat baik kepadanya. Akan tetapi orang yang menasihatinya secara terbuka, maka sesungguhnya ia telah menistakannya dan merendahkannya”.

Hal yang sering diabaikan orang dalam hal ini, yaitu ketika mereka melihat seseorang menjual barang atau hewan yang mengandung cacat tetapi ia tidak mau menjelaskannya, ternyata mereka tidak mau menegur dan memberitahukan kepada pembeli atas cacat yang ada pada barang itu. Orang-orang semacam itu bertanggung jawab terhadap kemungkaran tersebut, karena agama itu adalah nasihat (kejujuran), maka barang siapa tidak mau berlaku jujur atau memberi nasihat, berarti ia telah berlaku curang.

Kalimat “hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya” , maksudnya hendaklah ia mengingkari perbuatan itu dalam hatinya. Hal semacam itu tidaklah dikatakan telah merubah atau melenyapkan, tetapi itulah yang sanggup ia kerjakan. Dan kalimat “demikian itu adalah selemah-lemah iman” maksudnya ialah – Wallaahu a’lam – paling sedikit hasilnya (pengaruhnya).

Orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar tidaklah punya hak untuk mencari-cari, mengontrol, memata-matai, dan menyebarkan prasangka, tetapi jika ia menyaksikan orang lain berbuat mungkar, hendaklah ia mencegahnya. Al Mawardi berkata : “Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah punya hak untuk menyebarkan praduga atau memata-matai, kecuali memberitahukan kepada orang yang bisa dipercaya”. Bila ada seseorang yang membawa orang lain ke tempat sunyi untuk dibunuh, atau membawa seorang perempuan ke tempat sunyi untuk dizinai, maka dalam keadaan semacam ini, bolehlah ia memata-matai, mengawasi dan mengintai karena khawatir terdahului oleh kejadiannya.

Disebutkan bahwa kalimat “demikian itu adalah selemah-lemah iman” maksudnya ialah hasilnya (pengaruhnya) sangat sedikit. Tersebut dalam riwayat lain :
“Selain dari itu tidak lagi ada iman sekalipun sebesar biji sawi”.

Artinya selain dari tiga macam sikap tersebut tidak lagi ada sikap lain yang ada nilainya dari segi keimanan. Iman yang dimaksud dalam Hadits ini adalah dengan makna islam.

Hadits ini menyatakan bahwa orang yang takut pembunuhan atau pemukulan, ia terbebas dari melakukan pencegahan kemungkaran. Inilah pendapat para ulama ahli tahqiq zaman salaf maupun khalaf. Sebagian dari golongan yang ekstrim berpendapat bahwa sekalipun seseorang takut, tidaklah ia terbebas dari kewajiban mencegah kemungkaran.
komentar | | Read More...

Hadits Arba'in ke-37:PAHALA KEBAIKAN DILIPATGANDAKAN OLEH ALLAH

PAHALA KEBAIKAN DILIPATGANDAKAN OLEH ALLAH

عن ابن عباس – رضي الله عنه – عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يريه عن ربه تبارك و تعالى قال - إن الله كتب الحسنات و السيئات ثم بين ذلك : فمن هم بحسنة فلم يعملها كتبها الله عنده حسنة كاملة و إن هم بها فعملها كتبها الله عنده عشر حسنات إلى سبعمائة ضعف إلى أضعاف كثيرة ، و إن هم بسيئة فلم يعملها كتبها الله عنده حسنة كاملة ، وإن هم بها فعملها كتبها الله سيئة واحدة- رواه البخاري و مسلم في صحيحيهما بهذه الحروف

Terjemahan:

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, beliau meriwayatkan dari Tuhannya, Tabaaraka wa ta’aala. Firman-Nya : “Sesungguhnya Allah telah menetapkan nilai kebaikan dan kejahatan, kemudian Dia menjelaskannya. Maka barangsiapa berniat mengerjakan kebaikan tetapi tidak dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat untuk berbuat kebaikan lalu ia mengerjakannya, Allah mencatatnya sebagai 10 sampai 700 kali kebaikan atau lebih banyak lagi. Jika ia berniat melakukan kejahatan, tetapi ia tidak mengerjakannya, Allah mencatatkan padanya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat melakukan kejahatan lalu dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kejahatan”.
(HR. Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shahihnya dengan lafazh ini)

[Bukhari no. 6491, Muslim no. 131]

Penjelasan:

Pensyarah Hadits ini berkata : Ini adalah Hadits yang sangat mulia dan berharga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan betapa banyak kelebihan yang Allah berikan kepada makhluk-Nya. Di antaranya yaitu orang yang berniat melakukan kebaikan sekalipun belum dilaksanakan mendapat satu pahala, sedangkan orang yang berniat berbuat dosa tetapi tidak jadi dikerjakan, mendapat satu pahala, dan bila ia laksanakan mendapat satu dosa. Orang yang berniat baik kemudian melaksanakannya, Allah tetapkan baginya sepuluh kali pahala. Ini adalah suatu keutamaan yang sangat besar, yaitu dengan melipat gandakan pahala kebaikan, tetapi tidak melipat gandakan siksa atas perbuatan dosa. Allah tetapkan keinginan berbuat baik sebagai suatu kebaikan, karena keinginan berbuat baik itu merupakan perbuatan hati yang ditekadkannya.

Berdasarkan sabda ini ada yang berpendapat, seharusnya orang yang berniat berbuat dosa tetapi belum melaksanakannya dicatat sebagai satu dosa, karena keinginan melakukan sesuatu merupakan bagian dari pekerjaan hati. Ada pula yang berpendapat tidak seperti itu, sebab orang yang mengurungkan berbuat dosa dan menghapus keinginannya untuk berbuat dosa dan menggantinya dengan keinginan lain yang baik. Dengan demikian dia diberi pahala satu kebaikan. Tersebut pada Hadits lain : “ ia meninggalkan niat jeleknya itu karena takut kepada-Ku”
Hadits ini semakna dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Setiap muslim punya shadaqah”. Mereka (para sahabat) bertanya : “Sekalipun dia tidak melakukannya?” Sabda beliau : “Hendaklah dia mengurungkan niat jahatnya, maka hal itu menjadi sadaqah bagi dirinya”. (riwayat Bukhari dalam Kitab Adab)
Adapun orang yang meninggalkan niat jahatnya karena dipaksa atau tidak sanggup menjalankannya, maka tidaklah dicatat sebagai suatu kebaikan (yang mendapat pahala) dan tidak termasuk dalam pembicaraan Hadits ini.

Thabari berkata : “Hadits ini membenarkan pendapat yang mengatakan : ’Pembatalan niat seseorang dalam melakukan kebaikan atau keburukan tetap dicatat oleh malaikat, asalkan dia menyadari apa yang diniatkan itu”. Ia membantah pendapat yang beranggapan bahwa malaikat hanya mencatat pembatalan pada perbuatan-perbuatan yang zhahir atau sesuatu yang dapat didengar. Ini berarti dua malaikat yang ditugasi mengawasi manusia mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang. Boleh juga Allah memberikan cara kepada para malaikat itu untuk mengetahui hal itu sebagaimana Allah telah memberikan jalan kepada sebagian besar nabi-Nya dalam beberapa perkara ghaib. Allah telah berfirman berkenaan dengan Isa ketika ia berkata kepeda Bani Israil : “Aku mengabarkan kepada kamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumah-rumah kamu”. (QS. 3 : 49)

Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam juga telah mengabarkan banyak perkara ghaib. Maka dapat saja Allah memberikan kepada dua malaikat itu cara untuk mengetahui niat baik atau niat buruk seseorang lalu dia mencatatnya, bila orang tersebut telah menjadikannya sebagai tekad. Ada pula yang berpendapat malaikat mengetahuinya dari angin yang keluar dari hati seseorang.

Para ulama salaf berselisih paham tentang dzikir manakah yang lebih baik, dzikir dalam hati atau dzikir dengan lisan. Ini semua adalah pendapat Ibnu Khalaf yang dikenal dengan nama Ibnu Bathal. Pengarang kitab Al Ifshah dalam salah satu pernyataannya mengatakan : Sesungguhnya tatkala Allah mengurangi umur umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Allah mengganti kependekan umurnya itu dengan melipat gandakan pahala amalnya”. Barang siapa berniat berbuat baik maka dengan niatnya itu ia mendapatkan satu kebaikan penuh, sekalipun sekadar niat. Allah jadikan niatnya itu sebagai kebaikan penuh agar orang tidak beranggapan bahwa niat semata-mata mengurangi kebaikan atau sia-sia. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan dengan kata “kebaikan sempurna”. Jika seseorang berniat baik lalu melaksanakannya, hal itu berarti telah keluar dari lingkup niat menjelma kepada amal. Niat baiknya ditulis sebagai suatu kebaikan, kemudian perbuatan baiknya digandakan. Hal ini semua tergantung pada ikhlas atau tidaknya niat pada masing-masing perbuatan.

Selanjutnya pada kalimat “sampai dilipatgandakan banyak sekali” , digunakan bentuk kata nakirah (tidak terbatas) yang maknanya lebih luas daripada bentuk kata ma’rifah (terbatas). Kalimat semacam ini menunjukkan adanya pengertian pembalasan yang tidak terhingga banyaknya.

Kalimat janji Allah semacam ini dapat mencakup pernyataan : “Apabila seorang manusia mengeluarkan sedekah sebutir gandum, maka akan diberi pahala atas perbuatannya itu karena rahmat Allah. Sekiranya butiran gandum tersebut ditaburkan lalu tumbuh di tanah yang subur dan dipelihara, disiangi sesuai dengan kebutuhannya, lalu dipanen, maka akan tampak hasilnya. Kemudian hasilnya dapat ditanam lagi pada tanah yang subur lalu dipelihara seperti tanaman sebelumnya. Kemudian terus berjalan semacam itu pada tahun kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Kemudian hal ini terus berlangsung sampai hari kiamat, sehingga sebutir gandum, sebutir biji sawi, atau sebatang rumput akhirnya dapat menjadi bertumpuk banyak setinggi gunung. Sekiranya sadaqah yang dikeluarkan hanya sebutir jagung karena iman, maka ia kelak akan melihat keuntungan atas sadaqahnya di waktu itu. Dan dihitung-hitung, jika dijual di pasar yang paling laris di negeri yang paling besar, tentulah barang semacam itu merupakan barang yang sangat laris. Kemudian bertambah berlipat ganda dan terus berjalan sampai hari kiamat, maka sebutir gandum tadi tumbuh sebagai benda yang besarnya sebesar dunia ini seluruhnya. Demikianlah balasan Allah atas semua amal kebaikan yang dilakukan, jika didasarkan pada niat yang ikhlas dan muncul dari hati yang ikhlas”.

Sesungguhnya Allah dengan rahmat-Nya berlipat ganda dalam memberi pahala kepada seseorang yang memberikan shadaqah satu dirham kepada orang fakir, lalu si fakir itu memberikannya kepada fakir lain yang lebih melarat dari dirinya, kemudian fakir lain tersebut memberikannya kepada fakir yang ketiga, dan yang ketiga memberikan kepada yang keempat, dan seterusnya. Dari kejadian seperti di atas, Allah akan memberi pahala kepada pemberi shadaqah pertama, dengan sepuluh kali. Bila fakir pertama yang memberikannya kepada fakir yang kedua, maka fakir pertama ini mendapat pahala sepuluh kali, dan pemberi shadaqah pertama mendapat pahala seratus kali (sepuluh kali sepuluh). Kemudian fakir kedua memberikannya kepada fakir ketiga, maka fakir kedua mendapat pahala sepuluh kali, fakir pertama mendapat pahala seratus kali, sedang pemberi shadaqah pertama pahala seratus kali, sedang pemberi shadaqah pertama mendapat pahala seribu kali. Bila fakir ketiga menshadaqahkan kapada fakir keempat, maka fakir ketiga mendapat sepuluh kali, fakir kedua mendapat pahala seratus kali, pemberi shadaqah pertama mendapat pahala sepuluh ribu kali sampai berlipat ganda sehingga tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah. Oleh karena itu, bila kelak Allah mengadili hamba-Nya yang muslim di hari kiamat, kebaikan mereka bertingkat-tingkat nilai ketinggiannya dan ada pula yang kurang nilainya, maka dengan kemurahan dan rahmat-Nya Allah akan memperhitungkan semua amal kebaikannya lebih besar daripada perbedaan nilai antara dua kebaikan. Allah berfirman : “Sungguh Kami pasti memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan”. (QS. 16 : 97)

Sebagaimana seseorang yang berada di salah satu pasar kaum muslim mengucapkan kalimat “laailaaha illallaah wahdah, laa syariikalah …” dengan suara yang tinggi, maka Allah akan mencatat perbuatannya itu dengan memberi pahala seribu kebaikan dan dihapuskan dari orang itu seribu dosanya, serta ia akan diberi sebuah rumah di surga seperti yang tersebut pada sebuah Hadits. Kami terangkan di sini hanyalah apa yang kami ketahui saja, bukan berdasarkan kadar rahmat Allah yang sebenarnya, sebab Allah itu jauh lebih agung dari apa yang dapat digambarkan oleh makhluk. Wallahu a’lam
komentar | | Read More...

Hadits Arba'in ke-36:SESAMA MUSLIM WAJIB SALING BANTU

SESAMA MUSLIM WAJIB SALING BANTU

عن ابي هريرة – رضي الله عنه قال- عن النبي صلى الله عليه و سلم قال - من نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من مرب يوم القيامة ، ومن يسر على معسر يسر الله عليه في الدنيا و الآخرة ، ومن ستر مسلما ستره الله فى الدنيا و الآخرة ، و الله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه . و من سلط طريقا يلتمس فيه علما سهل الله به طريقا الى الجنة ، وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله و يتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة و غشيتهم الرحمة و حفتهم الملائكة و ذكرهم الله في من عنده ، و من بطأ به عمله لم يسرع به نسبه - رواه مسلم بهذا اللفظ

Terjemahan:

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda : “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutup aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya. Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, pasti Allah memudahkan baginya jalan ke surga. Apabila berkumpul suatu kaum di salah satu masjid untuk membaca Al Qur’an secara bergantian dan mempelajarinya, niscaya mereka akan diliputi sakinah (ketenangan), diliputi rahmat, dan dinaungi malaikat, dan Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan makhluk-makhluk lain di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalannya, maka tidak akan dipercepat kenaikan derajatnya”. (Lafazh riwayat Muslim)

[Muslim no. 2699]

Penjelsan:

Hadits ini amat berharga, mencakup berbagai ilmu, prinsip-prinsip agama, dan akhlaq. Hadits ini memuat keutamaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang mukmin, memberi manfaat kepada mereka dengan fasilitas imu, harta, bimbingan atau petunjuk yang baik, atau nasihat dan sebagainya.

Kalimat “barang siapa yang menutup aib seorang muslim” , maksudnya menutupi kesalahan orang-orang yang baik, bukan orang-orang yang sudah dikenal suka berbuat kerusakan. Hal ini berlaku dalam menutup perbuatan dosa yang terjadi. Adapun bila diketahui seseorang berbuat maksiat, tetapi dia meragukan kemaksiatannya, maka hendaklah ia segera dicegah dan dihalangi. Jika tidak mampu mencegahnya, hendaklah diadukan kepada penguasa, sekiranya langkah ini tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Adapun orang yang sudah tahu bahwa hal itu maksiat tetapi tetap melanggarnya, hal itu tidak perlu ditutupi, Karena menutup kesalahannya dapat mendorong dia melakukan kerusakan dan tindakan menyakiti orang lain serta melanggar hal-hal yang haram dan menarik orang lain untuk berbuat serupa. Dalam hal semacam in dianjurkan untuk mengadukannya kepada penguasa, jika yang bersangkutan tidak khawatir terjadi bahaya. Begitu pula halnya dengan tindakan mencela rawi hadits, para saksi, pemungut zakat, pengurus waqaf, pengurus anak yatim, dan sebagainya, wajib dilakukan jika diperlukan. Tidaklah dibenarkan menutupi cacat mereka jika terbukti mereka tercela kejujurannya. Perbuatan semacam itu bukanlah termasuk menggunjing yang diharamkan, tetapi termasuk nasihat yang diwajibkan.

Kalimat “Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya”. Kalimat umum ini maksudnya ialah bahwa seseorang apabila punya keinginan kuat untuk menolong saudaranya, maka sepatutnya harus dikerjakan, baik dalam bentuk kata-kata ataupunpembelaan atas kebenaran, didasari rasa iman kepada Allah ketika melaksanakannya. Dalam sebuah hadits disebutkan tentang keutamaan memberikan kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan dan keutamaan seseorang yang menuntut ilmu. Hal itu menyatakan keutamaan orang yang menyibukkan diri menuntut ilmu. Adapun ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu syar’i dengan syarat niatnya adalah mencari keridhaan Allah, sekalipun syarat ini juga berlaku dalam setiap perbuatan ibadah.

Kalimat “Apabila berkumpul suatu kaum disalah satu masjid untuk membaca Al-Qur’an secara bergantian dan mempelajarinya” menunjukkan keutamaan berkumpul untuk membaca Al-Qur’an bersama-sama di Masjid.

Kata-kata “sakinah” dalam hadits, ada yang berpendapat maksudnya adalah rahmat, akan tetapi pendapat ini lemah karena kata rahmat juga disebutkan dalam hadits ini.

Pada kalimat “Apabila berkumpul suatu kaum” kata “kaum” disebutkan dalam bentuk nakiroh, maksudnya kaum apasaja yang berkumpul untuk melakukan hal seperti itu, akan mendapatkan keutamaan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak mensyaratkan kaum tertentu misalnya ulama, golongan zuhud atau orang-orang yeng berkedudukan terpandang. Makna kalimat “Malaikat menaungi mereka” maksudnya mengelilingi dan mengitari sekelilingnya, seolah-olah para malaikat dekat dengan mereka sehingga menaungi mereka, tidak ada satu celah pun yang dapat disusupi setan. Kalimat “diliputi rahmat “ maksudnya dipayungi rahmat dari segala segi. Syaikh Syihabuddin bin Faraj berkata : “menurut pendapatku diliputi rahmat itu maksudnya ialah dosa-dosa yang telah lalu diampuni, Insya Allah”

Kalimat “Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan makhluk-makhluk lain disisi-Nya” mengisyaratkan bahwa, Allah menyebutkan nama-nama mereka dilingkungan para Nabi dan para Malaikat yang utama. Wallaahu a’lam.
komentar | | Read More...

Hadits Arba'in ke-35:HARAMNYA SIFAT DENGKI(HASAD), DAN MENCARI-CARI KESALAHAN ORANG

HARAMNYA SIFAT DENGKI(HASAD), DAN MENCARI-CARI KESALAHAN ORANG

عن أبى هريرة – رضي الله عنه – قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم - لا تحاسدوا ، و لا تناجشوا ، و لا تباغضوا و لا تدابروا ، و لا يبع بعضكم على بيع بعض ، و كونوا عباد الله إخوانا ، السلم أخو المسلم لا يظلمه و لا يخذله ، و لا يكذبه و لا يحقره ، التقوى ها هنا – و يشير إلى صدره ثلاث مرات – بحسب امرئ من الشر أن يحقر أخاه المسلم كل المسلم على المسلم حرام دمه و ماله و عرضه - رواه مسلم

Terjemahan

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Kamu sekalian, satu sama lain Janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya. Taqwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali). Seseorang telah dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram darahnya bagi muslim yang lain, demikian juga harta dan kehormatannya”.

[Muslim no. 2564]

Penjelasan:

Kalimat “janganlah saling mendengki” maksudnya jangan mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain. Hal ini adalah haram. Pada Hadits lain disebutkan:
“Jauhilah olehmu sekalian sifat dengki, karena dengki itu memakan segala kebaikan seperti api memakan kayu”.

Adapun iri hati ialah tidak ingin orang lain mendapatkan nikmat, tetapi ada maksud untuk menghilangkannya. Terkadang kata denngki dipakai dengan arti iri hati, karena kedua kata ini memang pengertiannya hampir sama, seperti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam sebuah Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud :
“Tidaklah boleh ada dengki kecuali dalam dua perkara”.

Dengki yang dimaksud dalam Hadits ini adalah iri hati.

Kalimat “jangan kamu saling menipu” , yaitu memperdaya. Seorang pemburu disebut penipu, karena dia memperdayakan mangsanya.

Kalimat “jangan kamu saling membenci” maksudnya jangan saling melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan kebencian. Cinta dan benci adalah hal yang berkenaan dengan hati, da manusia tidak sanggup untuk mengendalikannya sendiri. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
“Ini adalah bagianku yang aku tidak sanggup menguasainya, Karena itu janganlah Engkau menghukumku dalam urusan yang Engkau kuasai tetapi aku tidak menguasainya”.

Yaitu berkenaan dengan cinta dan benci.

Kalimat “jangan kamu saling menjauh” dalam bahasa arab adalah tadaabur, yaitu saling bermusuhan atau saling memutus tali persaudaraan. Antara satu dengan yang lain saling membelakangi atau menjauhi.

Kalimat “janganlah membeli barang yang sudah ditawar orang lain” yaitu berkata kepada pembeli barang pada saat sedang terjadi transaksi barang, misalnya dengan kata-kata : “Batalkanlah penjualan ini dan aku akan membelinya dengna harga yang sama atau lebih mahal”. Atau dua orang yang melakukan jual beli telah sepakat dengan suatu harga dan tinggal akad saja, lalu salah satunya meminta tambahan atau pengurangan harga. Perbuatan semacam ini haram, karena penetapan harga sudah disepakati. Adapun sebelum ada kesepakatan, tidak haram.

Kalimat “jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” maksudnya hendaklah kamu saling bergaul dan memperlakukan orang lain sebagai saudara dalam kecintaan, kasih sayang, keramahan, kelembutan, dan tolong-menolong dalam kebaikan dengan hati ikhlas dan jujur dalam segala hal.

Kalimat “seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya”. Yang dimaksud menelantarkan yaitu tidak memberi bantuan dan pertolongan. Maksudnya jika ia meminta tolong untuk melawan kezhaliman, maka menjadi keharusan saudaranya sesama muslim untuk menolongnya jika mampu dan tidak ada halangan syar’i.

Kalimat “tidak menghinakannya” yaitu tidak menyombongkan diri pada orang lain dan tidak menganggap orang lain rendah. Qadhi ‘Iyadh berkata : “Yang dimaksud dengan menghinakannya yaitu tidak mempermainkan atau membatalkan janji kepadanya”. Pendapat yang benar adalah pendapat yang pertama.

Kalimat “taqwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali)”. Pada riwayat lain disebutkan :
“Allah tidak melihat jasad kamu dan rupa kamu, tetapi melihat hati kamu”.

Maksudnya, perbuatan-perbuatan lahiriyah tidak akan mendapatkan pahala tanpa taqwa. Taqwa itu adalah rasa yang ada dalam hati terhadap keagungan Allah, takut kepada-Nya, dan merasa selalu diawasi. Pengertian, “Allah melihat” ialah Allah mengetahui segala-galanya. Maksud Hadits ini ialah Allah akan memberinya balasan dan mengadili, dan semua perbuatan itu dinilai berdasarkan niatnya di dalam hati. Wallaahu a’lam.

Kalimat “seseorang telah dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim” berisikan peringatan keras terhadap perbuatan menghina. Allah tidak menghinakan seorang mukmin karena telah menciptakannya dan memberinya rezeki, kemudian Allah ciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dan semua yang ada di langit dan bumi ditundukkan bagi kepentingannya. Apabila ada peluang bagi orang mukmin dan orang bukan mukmin, maka orang mukmin diprioritaskan. Kemudian Allah, menamakan seorang manusia dengan muslim, mukmin, dan hamba, kemudian mengirimkan Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam kepadanya. Maka siapa pun yang menghinakan seorang muslim, berarti dia telah menghinakan orang yang dimuliakan Allah.

Termasuk perbuatan menghinakan seorang muslim ialah tidak memberinya salam ketika bertemu, tidak menjawab salam bila diberi salam, menganggapnya sebagai orang yang tidak akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah atau tidak akan dijauhkan dari siksa neraka. Adapun kecaman seorang muslim yang berilmu terhadap orang muslim yang jahil, orang adil terhadap orang fasik tidaklah termasuk menghina seorang muslim, tetapi hanya menyatakan sifatnya saja. Jika orang itu meninggalkan kejahilan atau kefasikannya, maka ketinggian martabatnya kembali.
komentar | | Read More...

Hadits Arba'in ke-34:KEWAJIBAN MENGINGKARI/MEMBERANTAS KEMUNGKARAN

KEWAJIBAN MENGINGKARI/MEMBERANTAS KEMUNGKARAN

عن أبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – قال : قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول - من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعف الإيمان - رواه مسلم

Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju) , dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”.

[Muslim no. 49]

Penjelasan:

Muslim meriwayatkan Hadits ini dari jalan Thariq bin Syihab, ia berkata : Orang yang pertama kali mendahulukan khutbah pada hari raya sebelum shalat adalah Marwan. Lalu seorang laki-laki datang kepadanya, kemudian berkata : “Shalat sebelum khutbah?”. Lalu (laki-laki tersebut) berkata : “Orang itu (Marwan) telah meninggalkan yang ada di sana (Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam)”. Abu Sa’id berkata : “Adapun dalam hal semacam ini telah ada ketentuannya. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : ‘Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman’ “. Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan semacam itu belum pernah dilakukan oleh siapa pun sebelum Marwan.

Jika ada yang bertanya : “Mengapa Abu Sa’id terlambat mencegah kemungkaran ini, sampai laki-laki tersebut mencegahnya?” Ada yang menjawab : “Mungkin Abu Sa’id belum hadir ketika Marwan berkhutbah sebelum shalat. Lelaki itu tidak menyetujui perbuatan tersebut, lalu Abu Sa’id datang ketika kedua orang tersebut sedang berdebat. Atau mungkin Abu Sa’id sudah hadir tetapi ia merasa takut untuk mencegahnya, karena khawatir timbul fitnah akibat pencegahannya itu, sehingga tidak dilakukan. Atau mungkin Abu Sa’id sudah berniat mencegah, tetapi lelaki itu mendahuluinya, kemudian Abu Sa’id mendukungnya”.
Wallaahu a’lam.

Pada Hadits lain yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam Bab Shalat Hari Raya, disebutkan bahwa Abu Sa’id menarik tangan Marwan ketika ia hendak naik ke atas mimbar. Ketika keduanya berhadapan, Marwan menolak peringatan Abu Sa’id sebagaimana penolakannya terhadap seorang laki-laki seperti yang dikisahkan pada Hadits di atas, atau mungkin kasus ini terjadinya berlainan waktu.

Kalimat “hendaklah ia merubahnya (mencegahnya)” dipahami sebagai perintah wajib oleh segenap kaum muslim. Dalam Al Qur’an dan Sunnah telah ditetapkan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ini termasuk nasihat dan merupakan urusan agama. Adapun firman Allah :
“Jagalah diri kamu sekalian, tidaklah merugikan kamu orang yang sesat, jika kamu telah mendapat petunjuk”. (QS. Al Maidah : 105)

tidaklah bertentangan dengan apa yang telah kami jelaskan, karena paham yang benar menurut para ulama ahli tahqiq adalah bahwa makna ayat tersebut ialah jika kamu sekalian melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu, maka kamu tidak akan menjadi rugi bila orang lain menyalahi kamu.
Hal ini semakna dengan firman Allah :
“Seseorang tidaklah menanggung dosa orang lain”. (QS. 6 : 164)

Dengan demikian, amar ma’ruf dan nahi mungkar yang dibebankan kepada setiap muslim, jika ia telah menjalankannya, sedangkan orang yang diperingatkan tidak melaksanakannya, maka pemberi peringatan telah terlepas dari celaan, sebab ia hanya diperintah menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tidak harus sampai bisa diterima oleh yang diberi peringatan. Wallaahu a’lam.

Kemudian, amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan perbuatan wajib kifayah, sehingga jika telah ada yang menjalankannya, maka yang lain terbebas. Jika semua orang meninggalkannya, maka berdosalah semua orang yang mampu melaksanakannya, terkecuali yang ada udzur. Kemudian ada kalanya menjadi wajib ‘ain bagi seseorang. Misalnya, jika di suatu tempat yang tidak ada orang lain yang mengetahui kemungkaran itu selain dia, atau kemungkaran itu hanya bisa dicegah oleh dia sendiri, misalnya seseorang yang melihat istri, anak, atau pembantunya melakukan kemungkaran atau kurang dalam melaksanakan kewajibannya.

Para ulama berkata : “Tanggung jawab amar ma’ruf dan nahi mungkar itu tidaklah terlepas dari diri seseorang hanya Karena ia beranggapan bahwa peringatannya tidak akan diterima. Dalam keadaan demikian ia tetap saja wajib menjalankannya. Allah berfirman :
“Berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”. (QS. 51 : 55)

Telah disebutkan di atas bahwa setiap orang berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi tidak diwajibkan sampai peringatannya itu diterima.
Allah berfirman :
“Tiadalah kewajiban bagi seorang Rasul melainkan hanya menyampaikan peringatan”. (QS. 5 : 99)

Para ulama berkata : “Orang yang menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah diharuskan dirinya telah sempurna melaksanakan semua yang menjadi perintah agama dan meninggalkan semua yang menjadi larangannya. Ia tetap wajib menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar sekalipun perbuatannya sendiri menyalahi hal itu. Hal ini Karena seseorang wajib melakukan dua perkara, yaitu menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Jika yang satu (amar ma’ruf nahi mungkar kepada diri sendiri) dikerjakan, tidak berarti yang satunya (amar ma’ruf nahi mungkar kepada orang lain) gugur”.

Para ulama berkata : “Tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak hanya menjadi kewajiban para penguasa, tetapi tugas setiap muslim”. Yang diperintahkan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang mengetahui tentang apa yang dinilai sebagai hal yang ma’ruf atau mungkar. Bila berkaitan dengan hal-hal yang jelas, seperti shalat, puasa, zina, minum khamr, dan semacamnya, maka setiap muslim wajib mencegahnya karena ia sudah mengetahui hal ini. Akan tetapi, dalam perbuatan atau perkataan yang rumit dan hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad yang golongan awam tidak banyak mengetahuinya, maka mereka tidaklah punya wewenang untuk melakukan nahi mungkar. Hal ini menjadi wewenang ulama. Dan para ulama hanya dapat mencegah kemungkaran yang sudah jelas ijma’nya. Adapun dalam hal yang masih diperselisihkan, maka dalam hal semacam ini tidak dapat dilakukan nahi mungkar, sebab setiap orang berhak memilih salah satu dari dua macam paham hasil ijtihad. Sedang pendapat setiap mujtahid itu dinilai benar sesuai keyakinannya masing-masing. Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian besar ulama tahqiq. Pendapat lain mengatakan bahwa yang benar itu hanya satu dan yang salah bisa banyak, tetapi mujtahid yang salah itu tidak berdosa. Sekalipun demikian, dinasihatkan supaya kita menjauhi persoalan yang diperselisihkan. Hal ini adalah satu sikap yang baik. Kita dianjurkan untuk melaksanakan nahi mungkar ini dengan santun.

Syaikh Muhyidin berkata : “Ketahuilah bahwa sejak lama amar ma’ruf nahi mungkar ini oleh sebagian besar orang telah diabaikan. Pada masa-masa ini hanyalah tinggal dalam tulisan yang amat sedikit, padahal ini merupakan hal yang amat besar peranannya bagi tegaknya urusan umat dan kekuasaan. Apabila perbuatan-perbuatan buruk merajalela, maka orang-orang shalih maupun orang-orang jahat semuanya akan tertimpa adzab. Jika orang yang shalih tidak mau menahan tangan orang yang zhalim, maka nyaris adzab Allah akan menimpa mereka semua. Allah berfirman :
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul-Nya khawatir tertimpa fitnah atau adzab yang pedih”. (QS. 24 : 63)

Oleh karena itu, sepatutnya para pencari akhirat dan orang yang berusaha mendapatkan keridhaan Allah memperhatikan masalah ini. Hal ini karena kemanfaatannya amat besar, apalagi sebagian besar orang sudah tidak peduli, dan orang yanng melakukan pencegahan kemungkaran tidak lagi ditakuti, karena martabatnya yang rendah. Allah berfirman :
“Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong-Nya”. (QS. 22 :40)

Oleh karena itu, ketahuilah bahwa pahala itu diberikan sesuai dengan usahanya dan tidak boleh meninggalkan nahi mungkar ini hanya karena ikatan persahabatan atau kecintaan, sebab sahabat yang jujur ialah orang yang membantu saudaranya untuk memajukan kepentingan akhiratnya, sekalipun hal itu dapat menimbulkan kerugian dalam urusan dunianya. Adapun orang yang menjadi musuh ialah orang yang berusaha merugikan usaha untuk kepentingan akhiratnya atau menguranginya sekalipun sikapnya seperti dapat membawa keuntungan duniawinya.

Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar seyogyanya dilakukan dengan sikap santun agar dapat lebih mendekatkan kepada tujuan. Imam Syafi’i berkata : “Orang yang menasihati saudaranya dengan cara tertutup, maka orang itu telah benar-benar menasihatinya dan berbuat baik kepadanya. Akan tetapi orang yang menasihatinya secara terbuka, maka sesungguhnya ia telah menistakannya dan merendahkannya”.

Hal yang sering diabaikan orang dalam hal ini, yaitu ketika mereka melihat seseorang menjual barang atau hewan yang mengandung cacat tetapi ia tidak mau menjelaskannya, ternyata mereka tidak mau menegur dan memberitahukan kepada pembeli atas cacat yang ada pada barang itu. Orang-orang semacam itu bertanggung jawab terhadap kemungkaran tersebut, karena agama itu adalah nasihat (kejujuran), maka barang siapa tidak mau berlaku jujur atau memberi nasihat, berarti ia telah berlaku curang.

Kalimat “hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya” , maksudnya hendaklah ia mengingkari perbuatan itu dalam hatinya. Hal semacam itu tidaklah dikatakan telah merubah atau melenyapkan, tetapi itulah yang sanggup ia kerjakan. Dan kalimat “demikian itu adalah selemah-lemah iman” maksudnya ialah – Wallaahu a’lam – paling sedikit hasilnya (pengaruhnya).

Orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar tidaklah punya hak untuk mencari-cari, mengontrol, memata-matai, dan menyebarkan prasangka, tetapi jika ia menyaksikan orang lain berbuat mungkar, hendaklah ia mencegahnya. Al Mawardi berkata : “Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah punya hak untuk menyebarkan praduga atau memata-matai, kecuali memberitahukan kepada orang yang bisa dipercaya”. Bila ada seseorang yang membawa orang lain ke tempat sunyi untuk dibunuh, atau membawa seorang perempuan ke tempat sunyi untuk dizinai, maka dalam keadaan semacam ini, bolehlah ia memata-matai, mengawasi dan mengintai karena khawatir terdahului oleh kejadiannya.

Disebutkan bahwa kalimat “demikian itu adalah selemah-lemah iman” maksudnya ialah hasilnya (pengaruhnya) sangat sedikit. Tersebut dalam riwayat lain :
“Selain dari itu tidak lagi ada iman sekalipun sebesar biji sawi”.

Artinya selain dari tiga macam sikap tersebut tidak lagi ada sikap lain yang ada nilainya dari segi keimanan. Iman yang dimaksud dalam Hadits ini adalah dengan makna islam.

Hadits ini menyatakan bahwa orang yang takut pembunuhan atau pemukulan, ia terbebas dari melakukan pencegahan kemungkaran. Inilah pendapat para ulama ahli tahqiq zaman salaf maupun khalaf. Sebagian dari golongan yang ekstrim berpendapat bahwa sekalipun seseorang takut, tidaklah ia terbebas dari kewajiban mencegah kemungkaran.
komentar | | Read More...
 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. Love Islam . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger